Minggu, 25 Januari 2009

Lho, Kok Gitu Sih …?

Beberapa bulan lagi pesta demokrasi terbesar bangsa ini digelar. Para kontestan baik secara organisasi ataupun individu telah ramai menghiasi layar promosi. Spanduk , poster memeriahkan setiap sudut jalan , gang , gapura dan jalan persimpangan. Belum lagi media tv dan surat kabar turut serta memeriahkan ‘perang’ pesan moral dalam rangka meraih simpati rakyat agar memilih dirinya ataupun partainya.

Dari sekian deretan, Saya sedikit terkesiap saat melihat satu poster yang sepertinya kukenali. Sedikit kuamati karena warna dasarnya kok beda. Betul ternyata Beliau ganti baju, padahal musim lalu berbaju A tapi untuk musim sekarang pakai baju B.

Fenomena ganti baju sebenarnya bukan hal baru , dan itu juga terjadi ditingkat elit apalagi ditingkat akar rumput. Namun satu pertanyaan terus menghantui rasa ini. Kenapa bisa ganti baju ...?

Berbeda adalah biasa , disitulah ‘demokrasi’ ingin bermain. Tetapi kalau setiap perbedaan diikuti ketidaktoleransian maka akan menimbulkan friksi. Kenapa bisa berbeda ... ? bukankah dulu saat pertama memilih warna baju kita sudah paham apa dan bagaimana bentuk perjuangan organisasi tersebut ? Jadi sebenarnya yang berbeda itu bentuk perjuangan , misi , visi yang tertuang dalam AD/ART atau karena tidak terakomodirnya kepentingan kita ..?

Seharusnya cita – cita perjuangan tidak akan pernah berubah walaupun katakanlah cita – cita itu sudah tercapai. Itu kalau memang niatnya berjuang , entahlah kalau ada niatan lain. Di dunia tersebut Saya tidak paham sama sekali, hanya sebagai penonton dan juga sebagi obyek yang selalu ditawari pilihan yang banyak tapi tak satupun kumengerti.

Terus apakah dengan banyaknya pilihan berarti banyak juga tersedia solusi atas kondisi bangsa ini ? Apakah pepatah ‘bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’ masih relevan ? . Bersatu tidak harus secara fisik tapi bisa berupa satu semangat dan satu cita – cita demi kejayaan Indonesia.

Ah ..sudahlah tanya terus , jawabannya mana…?

Read More..

Jumat, 09 Januari 2009

Ksatria Itu Pilih Tanding

Konon pihak Kurawa panik luar biasa di medan kurusetra begitu mengetahui senopati andalan yang juga sesepuh wayang Resi Bisma dan juga Resi Durna sudah gugur di medan laga. Untuk mengatasi kekosongan senopati , sekaligus bertujuan balas dendam terhadap Pandawa pihak Kurawa mengangkat ksatria sakti mandraguna yaitu Adipati Karna , Raja kecil di Awangga.

Adipati Karna segera menuju medan tempur sambil berujar bahwa dia hanya ingin bertempur dengan saudaranya Bima ataupun Arjuna. Maka bagi anda yang merasa sebagai wayang bukan dengan nama Bima atau Arjuna dipersilahkan minggir, jika tidak, sebagai senopati Adipati Karna tidak bertanggung jawab atas keselamatan jiwa yang bersangkutan.

Pertama yang menghadang adalah Raden Sanjaya, namun dengan halus Adipati Karna bilang bahwa engkau bukanlah lawanku Sanjaya, maka menyingkirlah kecuali engkau memang menghendaki. Mengetahui Sanjaya nekat menghadang , sang senopati tidak mau buang waktu maka dengan sekali gebrak terkaparlah Sanjaya

Kemudian ksatria Pringgodani Gatotkaca gantian menghadang, namun senopati Karna tidak menghiraukannya dan terus memerintahkan pasukan untuk maju. Akan tetapi karena Gatotkaca banyak merusak formasi pasukan Kurawa , maka senopati Karna terpaksa melepas senjata andalan agar tidak berlama – lama. Dan Gatotkaca pun dikemudian hari tercatat di museum perjuangan negeri Amarta sebagai satu dari banyak pahlawan.

Melihat pasukan Pandawa kocar – kacir , Srikandi berusaha menganalisa apa yang terjadi dan segera terjun langsung menjemput sang senopati. Adipati Karna kaget luar biasa begitu tahu yang dihadapannya adalah adik ipar sang senopati , bukan Arjuna suami Srikandi yang sedang dicarinya. Setelah sedikit basa – basi, senopati terus melenggang dan enggan sama sekali bertempur dan membiarkan Srikandi jumpalitan sendiri dengan jurus – jurus mautnya. Merasa dicuekin Srikandi tersinggung berat , maka dia langsung sesumbar kepada Adipati Karna bahwa tak mungkin dia bertemu Arjuna jika saja Srikandi masih di medan laga. Adipati Karna terdiam dan nampak berpikir apa yang akan diperbuat dihadapan Srkiandi. Jika saja dia seperti dua jagoan diatas tentulah senopati tidak ragu untuk menghabisinya, namun mengalahkan Srikandi tentulah “ kalah wirang , menang ora kondang “ begitu prinsip sang senopati barangkali. Tiba – tiba senopati dapat satu ide brilian, dia tidak akan membunuh Srikandi tapi hanya akan membuat shockterapi Srikandi agar dia mau mundur dari pertempuran, Maka segera dibentangkanlah gandewanya dan tentu saja Srikandi senang luar biasa melihat tantangannya dipenuhi. Tapi gantian sekarang Srikandi yang kaget, karena sasaran tembak sang senopati ternyata bukan dada atau leher nya yang sudah dibentengi dengan baja tahan rudal tapi malah memangkas rambut hitamnya yang ikal mayang dan panjang trurai sehingga menjadi sangat pendek. Bayangkan rambut hitam yang saat itu sedang jadi trend dan sering dijadikan model iklan shampo tiba – tiba terpotong pendek mirip gaya rambut Demi Moore. Karena pada jaman itu wanita dengan gaya rambut pendek belum menjadi mode, maka Srikandi merasa sangat malu dan sambil uring – uringan kabur keluar arena mencari belahan jiwanya Arjuna untuk mengadu. Sang Senopati tersenyum puas ternyata menyelesaikan perbedaan itu tidak musti dengan pertumpahan darah ............

Andai saja lakon diatas dipentaskan dan ditonton oleh satu bangsa di timur tengah yang sedang melakukan agresi mungkin saja ceritanya tidak sekelam yang diberitakan hari ini. Bayangkan !!! jemparing - jemparing berhulu ledak nuklir itu menghambur ke segala arah sesuka si penembak. Sasaran itu bisa berupa rumah sakit , hotel , terowongan , tenda bantuan sosial dan rakyat sipil pun jatuh jadi korban.

Senopatinya pun bertindak jauh dari simpatik berperang. Bala bantuan makanan dihalangi, bantuan obat – obatan dipersusah , konvoi relawan kemanusiaan diteror, bahkan badan dunia sekelas PBB terpaksa harus menghentikan supplai bantuan kemanusiaan karena kawatir serangan rudal. Walau tindakan ini banyak menuai kecaman dari segala penjuru dunia, namun senopatinya tetap cuek saja.

Mudah mudahan semua hikmah mampu kami cerna, dan Yang Maha Kuasa memberi perlindungan dan kesabaran kepada kami dan saudara – saudaraku di seluruh dunia. Dan dibukakan matahati yang merasa punya kuasa untuk melihat bahwa menyelesaikan masalah tidak harus dengan menumpahkan darah. Amin....

Read More..

Jumat, 02 Januari 2009

Eittss….

Vietnam menutup tahun 2008 dengan prestasi di ajang turnamen sepakbola regional asia tenggara dengan menjungkalkan raksasa sepakbola dikawasan ini. Gejala sepak terjang Vietnam terasa semenjak mereka menggusur Singapura untuk maju ke babak final.

Dan secara heroik , di masa injuri time berawal dari free kick sedikit diluar kotak terlarang bola meluncur ke gawang Thailand setelah di-kop melengkung ke tiang jauh. Ex kiper Persib Bandung yang terbilang postur tidak begitu tinggi jelas keteteran menjangkau bola tersebut. Vietnam secara meyakinkan tidak terkalahkan dipartai final dan berhak menyandang sebagi the best.

Memang ini berita minggu lalu, tapi saya ingin mulai tahun 2009 dengan posting cerita sepakbola.

Masih ingat , sekitar sepuluh-an tahun lalu kita belum terlalu ‘care’ akan kekuatan olahraga Vietnam dan mungkin juga dibidang lain. Kala itu Saya bertemu dengan tiga sekawan dari Vietnam yang sedang menjalani pelatihan di Jakarta , mereka masih mencerminkan sikap ‘kebangkitan’ yang menggelora. Dalam perjalanan ke Jakarta mereka rela menempuh perjalanan laut yang relative lebih lama. Sikap heroik-nya pun sudah mereka tunjukkan saat itu seperti saat kita sebut nama sebuah eks ibukota bagian selatan , mereka dengan sangat akan meminta kita untuk tidak menyebutkan nama itu tapi dengan nama baru.Karena nama lama adalah bagian kelam masa lalu negara mereka .

Lho..kok malah cerita negeri Vietnam, ok..kembali ke laptop. Bagaimana dengan sepakbola Indonesia?.

Jika kita amati penghuni the big four turnamen tersebut , Indonesia nampak sekali berbeda baik dari sisi speed ataupun sisi power. Mengutip pernyataan dari Bung Sartono Anwar bahwa kunci sepakbola adalah ball possession dalam arti yang sebenarnya yaitu menguasai bola secara penuh dan mengkontrolnya ( bukan sekedar statisitik ), disitulah kita bisa melihat perbedaan yang jelas apa yang sudah terjadi di turnamen itu. Bagaimana kita dan bagaimana mereka bermain bola.

Tim nasional adalah puncak dari segala aktivitas bola di tanah air. Semua kegiatan kompetisi baik pro ataupun non pro harus ter-integrasi dan mengerucut ke satu arah. Baru sampai disini saja , dinegeri kita sudah mengalami banyak sekali benturan. Sistem pelatnas jangka panjang tidak disetujui klub pemilik pemain, sehingga terjadi gesekan – gesekan kepentingan. Klub tidak bisa 100% disalahkan karena mereka telah membayar pemain guna mendongkrak prestasi serta prestise agar sponsor bisa datang.

Jadi…?
Sharing cost antara klub dan timnas jika menyangkut pemain yang dipanggil. Kelihatannya sangat kapitalis , tapi klub dan timnas kita bukanlah seperti klub dan timnas eropa yang sudah mapan. Klub eropa relative kaya dan kompetisi bagus sehingga tidak butuh pelatnas jangka panjang.

Kedua, soal target juara oleh klub. Target memang harus tinggi , tapi klub juga harus menyadari apakah resources yang klub punya sudah memadai atau belum. Resources bisa berupa dana, pengurus , supporter dan pendukung lain. Sebagian besar kita terjebak mimpi secara instant, ingin juara dengan jalan paling singkat. Saat bicara target inilah sebagian besar klub terpaksa berbenturan dengan kondisi riil dilapangan , mulai pendanaan sampai ulah supporter dan pemain yang tidak pernah mau kalah tapi dengan jalan tidak sportif. Intinya klub tidak harus juara, tapi lebih baik klub berorientasi membangun sepakbola sebagai satu dari sekian bidang usaha yang mempekerjakan professional didalamnya dengan proyek reliabilitas jangka panjang. Susah ya…, memang karena kultur olahraga kita belum kearah sana , masih seputar presatsi instant tadi.

Tidak perlu terlalu panjang, karena saya sendiri bukan praktisi ataupun pakar bola. Saya hanya segelintir orang yang lebih senang nonton Liga Super Indonesia, dibanding liga lain didunia. Juga lebih senang menonton TA Musafri yang sangat bersemangat dari pada menonton Richardo Kaka yang kalau berlari dengan bola laksana peluru jika keduanya main dalam waktu bersamaan. Wajar kan kalau Saya berharap ….?

Read More..