Jumat, 02 Januari 2009

Eittss….

Vietnam menutup tahun 2008 dengan prestasi di ajang turnamen sepakbola regional asia tenggara dengan menjungkalkan raksasa sepakbola dikawasan ini. Gejala sepak terjang Vietnam terasa semenjak mereka menggusur Singapura untuk maju ke babak final.

Dan secara heroik , di masa injuri time berawal dari free kick sedikit diluar kotak terlarang bola meluncur ke gawang Thailand setelah di-kop melengkung ke tiang jauh. Ex kiper Persib Bandung yang terbilang postur tidak begitu tinggi jelas keteteran menjangkau bola tersebut. Vietnam secara meyakinkan tidak terkalahkan dipartai final dan berhak menyandang sebagi the best.

Memang ini berita minggu lalu, tapi saya ingin mulai tahun 2009 dengan posting cerita sepakbola.

Masih ingat , sekitar sepuluh-an tahun lalu kita belum terlalu ‘care’ akan kekuatan olahraga Vietnam dan mungkin juga dibidang lain. Kala itu Saya bertemu dengan tiga sekawan dari Vietnam yang sedang menjalani pelatihan di Jakarta , mereka masih mencerminkan sikap ‘kebangkitan’ yang menggelora. Dalam perjalanan ke Jakarta mereka rela menempuh perjalanan laut yang relative lebih lama. Sikap heroik-nya pun sudah mereka tunjukkan saat itu seperti saat kita sebut nama sebuah eks ibukota bagian selatan , mereka dengan sangat akan meminta kita untuk tidak menyebutkan nama itu tapi dengan nama baru.Karena nama lama adalah bagian kelam masa lalu negara mereka .

Lho..kok malah cerita negeri Vietnam, ok..kembali ke laptop. Bagaimana dengan sepakbola Indonesia?.

Jika kita amati penghuni the big four turnamen tersebut , Indonesia nampak sekali berbeda baik dari sisi speed ataupun sisi power. Mengutip pernyataan dari Bung Sartono Anwar bahwa kunci sepakbola adalah ball possession dalam arti yang sebenarnya yaitu menguasai bola secara penuh dan mengkontrolnya ( bukan sekedar statisitik ), disitulah kita bisa melihat perbedaan yang jelas apa yang sudah terjadi di turnamen itu. Bagaimana kita dan bagaimana mereka bermain bola.

Tim nasional adalah puncak dari segala aktivitas bola di tanah air. Semua kegiatan kompetisi baik pro ataupun non pro harus ter-integrasi dan mengerucut ke satu arah. Baru sampai disini saja , dinegeri kita sudah mengalami banyak sekali benturan. Sistem pelatnas jangka panjang tidak disetujui klub pemilik pemain, sehingga terjadi gesekan – gesekan kepentingan. Klub tidak bisa 100% disalahkan karena mereka telah membayar pemain guna mendongkrak prestasi serta prestise agar sponsor bisa datang.

Jadi…?
Sharing cost antara klub dan timnas jika menyangkut pemain yang dipanggil. Kelihatannya sangat kapitalis , tapi klub dan timnas kita bukanlah seperti klub dan timnas eropa yang sudah mapan. Klub eropa relative kaya dan kompetisi bagus sehingga tidak butuh pelatnas jangka panjang.

Kedua, soal target juara oleh klub. Target memang harus tinggi , tapi klub juga harus menyadari apakah resources yang klub punya sudah memadai atau belum. Resources bisa berupa dana, pengurus , supporter dan pendukung lain. Sebagian besar kita terjebak mimpi secara instant, ingin juara dengan jalan paling singkat. Saat bicara target inilah sebagian besar klub terpaksa berbenturan dengan kondisi riil dilapangan , mulai pendanaan sampai ulah supporter dan pemain yang tidak pernah mau kalah tapi dengan jalan tidak sportif. Intinya klub tidak harus juara, tapi lebih baik klub berorientasi membangun sepakbola sebagai satu dari sekian bidang usaha yang mempekerjakan professional didalamnya dengan proyek reliabilitas jangka panjang. Susah ya…, memang karena kultur olahraga kita belum kearah sana , masih seputar presatsi instant tadi.

Tidak perlu terlalu panjang, karena saya sendiri bukan praktisi ataupun pakar bola. Saya hanya segelintir orang yang lebih senang nonton Liga Super Indonesia, dibanding liga lain didunia. Juga lebih senang menonton TA Musafri yang sangat bersemangat dari pada menonton Richardo Kaka yang kalau berlari dengan bola laksana peluru jika keduanya main dalam waktu bersamaan. Wajar kan kalau Saya berharap ….?

5 komentar:

  1. wah, walaupun mengaku bukan pakar bola, tapi analisis mas Raf cukup dalam. Apalagi disisipi dengan analisis politik, geopolitik, dan ekonomi. Salut.

    BalasHapus
  2. Tapi jangan lupa mas para komentator kita jago2 lho..ngomongnya.Gimana mau maju bola kita wong banyak pemain nasional yg main di "tarkam" kalau lagi gak latihan dgn alasan cari uang lebih.

    BalasHapus
  3. @Mas Med : saya hanya sekedar menulis , sehabis nonton dan sedikit berharap agar sepakbola kita bisa benar2 dijadikan industri dan membuka lapangan kerja yang prestise.

    @mas Wirja : profesionalisme memang penting, tapi uang juga dibutuhkan semua orang. Kadang kita menyadari masa edar sebagai pemain itu tidak lama , sedangkan sistem kontrak dari klub tidak ada yang jangka panjang. Sampai disini banyak sekali PR yg harus diurai dari lingkaran tersebut.

    Terima kasih

    BalasHapus
  4. Memang adik kita ini wasis tur waskitho, ngulas sepak bola oke formula 1 pun oye.
    Maju terus dan Selamat tahun baru, smoga sukses.

    BalasHapus
  5. Wah..Pak Indro sudah kembali..salam juga Pak

    BalasHapus